Sabtu, 08 Januari 2011

PSSI Vs LPI
Seperti kambing kebakaran jenggot, mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan suasana di PSSI pada saat ini. Bagaimana tidak, PSSI sebagai otoritas tertinggi sepakbola di Indonesia itu mendapat “tantangan” dari Liga Primer Indonesia (LPI) untuk bersaing menggelar kompetisi antar klub di Indonesia. Selama ini memang hanya PSSI lah yang berhak untuk menggelar kompetisi sepakbola, namun PSSI dinilai telah gagal dalam menggelar kompetisi yang baik sehingga berimbas kepada tim nasional yang tidak mampu merebut gelar apapun dalam sepuluh tahun belakangan ini.
Desakan mundur bagi ketua PSSI, Nurdin halid pun banyak terdengar dari mulut para pecinta sepakbola di tanah air. Pecinta sepakbola tanah air geram dengan sikap nurdin yang mencampur-adukkan politik dan olahraga, terlebih lagi Nurdin adalah bekas narapidana kasus korupsi. Tidak hanya masyarakat Indonesia yang mendesak agar Nurdin mundur sebagai ketua PSSI, desakan juga datang dari FIFA sebagai badan sepakbola dunia, FIFA mendesak agar ketua PSSI segera diganti saat Nurdin tersangkut kasus korupsi, namun PSSI tidak menghiraukan seruan dari FIFA. Memang benar, tidak seharusnya olahraga disangkutpautkan dengan politik karena sesuatu yang dipolitisasi tidak akan baik hasilnya. Lihat saja pada gelaran piala AFF bulan lalu, permainan TimNas Indonesia yang meningkat sangat tajam dimanfaatkan untuk menggalang dukungan atau Propaganda oleh para elit politik.
Salah satu contohnya pada saat TimNas yang seharusnya menjalani latihan, malah diundang oleh ketua partai Golkar Aburizal Bakrie untuk sekedar berkunjung ke rumahnya, selain itu Ical juga memberikan tanah seluas 25 hektar kepada PSSI untuk mengembangkan sepakbola. Hal seperti itu kiranya tidaklah penting bagi TimNas yang sedang serius menghadapi turnamen sebesar piala AFF, namun seketika, itu semua menjadi amat penting karena Aburizal Bakrie adalah “bos”nya Nurdin halid. Bahkan ada suatu ketika presiden SBY menyerukan kepada PSSI agar menurunkan harga tiket final leg ke 2 namun seruan itu tak didengarkan oleh PSSI, alasannya karena sudah kesepakatan antara pihak AFF dengan PSSI. Namun semua itu berubah kala Aburizal Bakrie menelpon Nurdin untuk menurunkan harga tiket dan perintah itu pun langsung dilaksanakan.
Kekisruhan ini memang bukan hanya dalam waktu dekat ini saja, namun sudah dari lama hal seperti ini terjadi di sepakbola Indonesia. Sebut saja jadwal kompetisi yang tidak jelas pada penyelenggaraan liga super, kualitas wasit yang masih buruk dan juga kesalahan PSSI yang terlambat mendaftarkan Persipura dalam gelaran Liga Champions Asia. Hal seperti ini menunjukkan betapa tidak profesionalnya PSSI dalam menggelar kompetisi.
Di tengah carut marutnya kompetisi sepakbola di Indonesia, LPI hadir dengan menawarkan sejumlah uang kepada klub yang ingin berpartisipasi, agar tidak perlu lagi menggunakan dana APBD yang selama ini menjadi andalan klub-klub peserta liga super yang dinaungi PSSI. Pihak LPI akan mengucurkan dana sebesar 25 sampai 30 milyar rupiah kepada para peserta Liga primer Indonesiadan Uang tersebut dijadikan modal untuk setiap tim yang berlaga di LPI. Konsep LPI tersebut disambut baik oleh para calon peserta, bahkan sudah ada empat tim peserta Liga Super Indonesia yang memilih bergabung dengan LPI yaitu Persema malang, Persibo Bojonegoro, PSM Makassar, dan Persebaya Surabaya.
Tidak hanya calon peserta LPI, masyarakat pun banyak yang menyambut baik adanya Liga tersebut dan Menegpora, Andi malarangeng pun menyetujui dengan adanya LPI ini. Liga Primer Indonesia yang rencananya akan mulai bergulir pada 8 januari ini memang telah dipersiapkan sejak lama. Ketuanya pun bukan orang sembarangan, ya ketua dari Liga Primer Indonesia adalah Arifin Panigoro seorang pengusaha pemilik Medco Group. Diperkirakan dana yang begitu besarnya berasal dari kantong Arifin.
Arifin panigoro memang sudah sejak lama mengkritisi sikap PSSI dalam menyelenggarakan kompetisi di tanah air, selain itu Arifin juga telah meluncurkan buku yang berjudul “buku hitam persepakbolaan Indonesia”. Buku tersebut menuai banyak kecaman dari anggota PSSI karena berisi tentang kejelekan PSSI dalam mengurus persepakbolaan tanah air. Selain itu juga Arifin sangat bernafsu untuk menggantikan Nurdin yang sudah hampir sepuluh tahun duduk di singgasana pemimpin. Namun Nurdin tidak bisa diturunkan begitu saja, harus ada kongres dari PSSI untuk membahas hal tersebut, Arifin pun tak patah arah dia menggagas berdirinya liga tandingan yaitu Liga Primer Indonesia.
Tetapi PSSI tidak tinggal diam dengan berdirinya LPI ini, PSSI telah mempersiapkan langkah-langkah dalam mengantisipasi “serangan” dari LPI. Langkah tersebut berupa sanksi tegas bagi klub Liga super yang ikut serta dalam Liga Primer Indonesia, dan juga bagi para pemain yang berlaga di LPI tidak akan diperbolehkan membela Tim Nasional merah putih. Untuk sanksi yang terakhir ini memang agak aneh, pasalnya pemain dilarang untuk memperkuat TimNas padahal setiap warga negara Indonesia berhak maju membela Tim Nasional dan ini tertera dalam undang-undang persepakbolaan Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini harus ada campur tangan dari pemerintah, terutama Andi Malarangeng sebagai menteri negara pemuda dan olahraga.
PSSI seharusnya bisa lebih dewasa dalam menyikapi persoalan ini, dan bisa lebih terpacu untuk menggelar kompetisi yang lebih baik dan lebih profesional lagi bukan takut jika peserta Liga super akan hengkang semua dan pindah ke LPI. Adanya LPI disini bukan semata-mata untuk menjatuhkan PSSI namun untuk kemajuan sepakbola Indonesia agar kedepannya bisa berbicara banyak di level Asia. Terbanglah Garudaku singkirkan kutu-kutu dari sayapmu. (HENDRA)

Selasa, 04 Januari 2011

DEGRADASI MORAL APARAT PENEGAK HUKUM

    Tahun 2010 merupakan dominasi kejadian aneh dibidang hukum, banyak yang terjadi sehingga perhatian masyarakat terfokus kasus hukum. Mulai dari kasus yang melibatkan kalangan bawah hingga atas menjadi sajian setiap hari disetiap media massa baik cetak maupun elektronik. Anehnya setiap kasus yang terjadi menimbulkan beberapa keanehan dimana menurut masyarakat telah terjadi pembelian hukum dibeberapa kalangan. Padahal elit negri ini selalu berbicara disetiap kesempatan bahwa “hukum harus ditegakkan”, namun itu hanya sebuah isapan jempol semata. Jika diibaratkan hukum menjadi panglima bagi mereka yang bisa membayar penegak hukum.
    Koruptor merupakan orang terdepan yang siap membeli pasal dan lamanya hukuman. Terlalu banyak kepentingan berbagai kalangan elit membuat hukum memandang yang banyak “bulunya”. Presiden SBY pada kesempatan memerintah pada periode kedua berjanji akan menegakkan supremasi hukum, tapi para bawahnya tidak sejalan dengan komitmen tersebut. Dapat dikatakan indah dibibir tapi pahit dilidah dan juga perilaku selain itu pemerintahan saat ini sangat tergantung pada kepentingan siapa yang dibela. Sehingga kejahatan mafia hukum sudah sangat sistematis dan mengakar dengan kuat.
    Ingatkah anda dengan kejadian “Aulia Pohan” yang dijebloskan ke penjara oleh KPK atas kasus korupsi dana BI 100 milyar rupiah. Setelah ia di nyatakan bersalah kita dikagetkan dengan kejadian ketua KPK yang terjerat kasus pembunuhan berencana, aneh dan janggal kasus ini disebabkan karena seorang cady wanita. Berbagai fakta yang terjadi amat mengherankan dan tidak masuk akal, dimana Antasari Azhar dihukum kurang lebih 18 tahun penjara. Selanjutnya kasus suap Bibit dan Chandra yang populer disebut “Cicak Vs Buaya” saat penyelidikan bukti-bukti tidak mengarah bahawa mereka menerima suap. Lucunya saat Kapolri saat itu Bambang Hendars Danuri saat melakuka pertemuan dengan anggota DPR menyatakan “bahwa bukti yang ada sangat kuat”. Tetapi pada perkembangannya jauh dari harapan bukti tersebut sama sekali tidak menyatakan indikasi suap pada kedua pimpinan KPK tersebut. Ditambah lagi saat rekaman penyadapan yang diperdengarkan di MK semakin membuat kepolisian dan kejaksaan hanya menjadi alat kepentingan elit  koruptor.  Meskipun sampai saat ini kasus keduanya masih bergulir dan menjadi perdebatan.
    Dan satu lagi saat Susno Duadji memberi keterangan dahyat soal mafia di kepolisian, ia mengatakan bahwa banyak perwira di kepolisian menjadi “MARKUS”. Hal ini membuka kejadian yang selama ini tidak diketahui oleh masarakat selama ini, yaitu kasus “GAYUS”. Hingga begitu heboh kasus ini sampai-sampai Satgas Mafia Hukum turun tangan. Namun apa daya terlalu banyaknya kepentingan dan banyaknya elit petinggi negara yang akan terseret membuat kepolisian seakan mandul dan tak berdaya sama sekali. Apalagi saat Gayus mengatakan menerima uang dari beberapa perusahaan grup Bakrie, semakin membuat kepolisian hilang akal dan nyali.
    Alasan yang dikemukakan pun janggal dan tidak masuk akal mulai dari sulitnya membuktikan aliran dana hingga orang yang menyerahkan uang tersebut. Anehnya polisi tidak meminta bantuan kepada PPATK untuk menelusuri aliran dana tersebut dan juga PPATK tidak inisiatif untuk memberikan data dan dokumen menyangkut hal tersebut. Dapat dikatakan bahwa keseriusan aparat penegak hukum dipertanyakan dan diuji saat menagani kasus-kasus besar.
Lalu apa yang membuat penegak hukum menjadi mandul, tidak serius, dan setengah hati, saya akan memberikan tiga faktor yang mempengaruhi. Diantaranya :
1.    Loyalitas
    Kesetiaan atau loyalitas amat penting dalam tugas seorang aparat. Tanpa      itu mereka tidak akan menjalani pekerjaannya secara serius dan sungguh-    sungguh, sebab kesetiaan menjadi benteng dalam meredam segala godaan     dari para penjahat terutama  koruptor. Jika aparat penegak hukum     melanggar hal ini maka ia telah mengkhianati  negara, bangsa, dan     institusinya.
2.    Godaan
Seorang penegak hukum secara tidak langsung memiliki kekuasaan dibidang hukum . Maka penjahat akan melakukan segala daya upaya untuk membeli kekuasaan yang dimiliki aparat penegak hukum. Ditambah lagi jika semakin tinggi pangkat seorag penegak hukum maka semakin kuat godaan yang menerpa mereka.
3.    Agama
Setiap orang pasti memeluk agama meskipun berbeda satu sama lain. Aparat penegak hukum pun juga memeluk agama, sebab agama merupakan benteng terkuat dalam menghadapi setiap godaan mulai dari hal kecil hingga besar. Dalam menjalani pendidikan sebelum bertugas agama pasti dijadikan dasar dalam menegakkan suatu hukum dan tidak asal membela yang bayar tetapi membela yang benar. Jika mereka tidak menjadikan agama sebagai panglima makan penegak hukum hanya sekumpulan manusia tanpa jiwa dan tujuan, maka agama hanya sebagai hiasan di KTP masing-masing.
4.    Kesejahteraan
aparat penegak hukum adalah manusia yang membutuhkan sandang, pangan, dan papan. Logisnya jika mereka sejahtera maka tugas akan dijalankan dengan penuh konsentrasi dan fokus, tapi hal ini jauh dari harapan dapat diberi contoh bahwa gaji seorang polisi dengan pangkat terendah hanya Rp.2000.000 sangat jauh dari peningkatan harga kebutuhan yang terus melambung tak terkendali. Maka kesejahteraan akan membentuk mental aparat penegak hukum yang mantap dan tahan dengan godaan materi.
Dari keempat faktor di atas saling mendukung satu sama lain, jika salah satunya hilang maka bersiaplah untuk kehilangan para penegak hukum yang jujur dan setia kepada negara. Dalam faktor agama amat penting dukungan keluarga untuk mencegah mereka berbuat dosa dan faktor kesejahteraan akan membentuk mental seorang pemberi bukan peminta. Khusus kesejahteraan pemerintah telah membuat kebijakan remunerasi bagi TNI dan P
Selain itu keseriusan setiap pimpinan institusi penegak hukum tidak hanya dilisan saja tapi pada tindakan nyata dalam penegakkan hukum, kalau harus mereka harus belajar pada Mahfud MD ketua dari Mahkamah Konstitusi yang sejauh ini bersih dan tidak membela yang bayar. Selain itu presiden harusnya menjalakan apa yang ia katakan yaitu  “taat kepada hukum” maka seharusnya ia memerintahkan bawahnya untuk serius menegakkan hukum. Jadi keseriusan dalam tindakan sangat ditunggu oleh masyarakat yang selama ini belum menemukan keadilan. (TULUS)